News Update :
Home » » pendidikan remaja dari sudut pandang islami

pendidikan remaja dari sudut pandang islami

Penulis : modis on Senin, 21 Januari 2013 | 01.47

  • 1. Pendidikan Remaja dari Sudut Pandang Psikologi Islami Oleh: Alwi Alatas, S.S. Keterangan: Artikel ini memenangkan Islamic Psychology Essay Competition (juara 1 untuk kategoriumum) yang diselenggarakan oleh Fakultas Psikologi Universitas Indonesia pada tahun 2006 lalu.
  • 2. Pendahuluan Bila kita berbicara tentang pendidikan remaja menurut sudut pandang Psikologi Islam,kita harus bertanya terlebih dahulu seperti apa seharusnya Psikologi Islam memandang remajadan manusia secara umum? Apakah Psikologi Islam seharusnya melihat manusia lebihsebagai suatu produk kebudayaan yang tunduk sepenuhnya pada perubahan-perubahan sosial?Atau ia seharusnya lebih melihat manusia dari aspek fitrah insaniah yang dengannya iadiciptakan? Apakah fase-fase perkembangan manusia, termasuk fase remaja, harussepenuhnya tunduk pada kehendak kultural masyarakat yang selalu berubah dari waktu kewaktu? Ataukah ia seharusnya lebih memperhatikan hal-hal yang bersifat natural dalam tahap-tahap pertumbuhannya? Adalah benar jika dikatakan bahwa manusia merupakan makhluk budaya dan tak mungkindipisahkan dari perkembangan budayanya. Kendati demikian, manusia juga memiliki sifat-sifat natural (fitrah) yang tak boleh diabaikan, demi terjaganya kesehatan psikologis manusiaitu sendiri. Psikologi Islam berkepentingan untuk mempelajari hal-hal yang fitrah ini untukkemudian mengawalnya dalam fase-fase pertumbuhan manusia. Al-Qur’an mengingatkan, “… (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusiamenurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapikebanyakan manusia tidak mengetahui.”1 Perubahan yang serius pada fitrah manusia tentuakan menimbulkan problem-problem serius juga di tingkat psikologis dan sosial. Tulisanberikut ini akan berusaha untuk membedah persoalan dan pendidikan remaja dari sudutpandang ini.Remaja Modern dan Akar Permasalahannya Menggagas pendidikan remaja idealnya tetap mengacu pada kondisi remaja kontemporer,sehingga solusi yang ditawarkan tidak tercerabut dari realitas yang ada. Selain itu, kita jugamencari jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar seperti berikut: Siapa sesungguhnyakelompok usia yang disebut remaja itu? Apa karakteristiknya? Dan bagaimana situasi yangmereka hadapi pada hari ini, baik secara psikologis maupun sosial? Tidak ada definisi serta batasan usia yang baku untuk kelompok usia yang biasa disebutremaja. Namun secara umum, remaja biasanya dianggap sebagai kelompok usia peralihan1 Al-Qur’an surat ar-Rum [30] : 30. Ahmad Faqih mengutip Quraish Shihab yang mengartikan fitrah sebagaiunsur, sistem dan tata kerja yang diciptakan Allah pada makhluk sejak awal kejadiannya sehingga menjadibawaannya. Lihat Ahmad Faqih HN, “Menggagas Psikologi Islami: Mendayung di Antara ParadigmaKemodernan dan Turats Islam,” http://www.geocities.com/jurnal_iiitindonesia/psikologi_islami.htm. 2
  • 3. antara anak-anak dan dewasa, kurang lebih antara usia 12 dan 20 tahun.2 Hilgard menjelaskanbahwa setidaknya ada tiga aspek penting yang menandai masa remaja: 1) Terjadinyaperubahan fisik (berkembangnya hormon dan organ-organ seksual), 2) Adanya pencarian danpemantapan identitas diri, dan 3) Adanya persiapan menghadapi tugas dan tanggung jawabsebagai manusia yang mandiri.3 Fase usia remaja sering dianggap sebagai fase yang sangat tidak stabil dalam tahapperkembangan manusia. G.S. Hall menyebutnya sebagai strum und drang ‘masa topanbadai,’4 sementara James E. Gardner menyebutnya sebagai masa turbulence (masa penuhgejolak). Penilaian ini tentu berangkat dari realitas psikologis dan sosial remaja. Sebenarnya, sejauh manakah gejolak yang dialami oleh remaja pada hari ini? Jikapersoalan-persoalan remaja di dalam dan di luar negeri dihimpun sebanyak-banyaknya, tentudata-data itu akan mengejutkan orang yang mengamatinya. Sementara, secara kualitatif dankuantitatif, persoalan-persoalan remaja tadi tampaknya terus meningkat dari hari ke hari. Remaja-remaja sekarang ini semakin akrab dengan persoalan seks, kekerasan, obat-obatan, dan problem psikologis. Perilaku seks remaja modern semakin bebas dan permisif.Riset Majalah Gatra beberapa tahun lalu memperlihatkan bahwa 22 % remaja menganggapwajar cium bibir, dan 1,3 % menganggap wajar hubungan senggama. Angka ini memangrelatif kecil, tetapi penelitian-penelitian lain menunjukkan angka yang lebih tinggi. Sebagaicontoh, 10 % dari 600 pelajar SMU yang disurvey di Jawa Tengah mengaku sudah pernahmelakukan hubungan intim.5 Malah penelitian-penelitian sebelumnya juga memperlihatkanangka yang sudah cukup tinggi.6 Beberapa remaja di Semarang pernah tertangkap basah oleh aparat dan warga karenamelakukan pesta seks dan mabuk-mabukan, sementara yang lainnya di Ujung Pandangmeninggal dunia di mobil setelah melakukan hal yang sama. Banyak dari mereka melakukanitu semua bukan karena adanya desakan ekonomi, melainkan untuk mencari kepuasan2 Batasan usia ini sangat relatif. Pubertas atau baligh mungkin bisa dianggap sebagai batas awal usia remaja.Adapun batas akhirnya bisa ditinjau dari beberapa segi. Secara psikologis, seorang remaja dikatakan sudahdewasa bila ia memiliki tingkat kematangan yang sama dengan orang dewasa. Sementara secara hukum, batasusia kedewasaan seseorang berbeda-beda menurut hukum yang berlaku di sebuah negara, biasanya antara 17 dan21 tahun.3 Lihat Ernest R. Hilgard, Rita L. Atkinson, & Richard C. Atkinson, 1979, Introduction to Psychology, NewYork: Harcourt Brace Jovanovich, Inc., hlm. 88.4 Sarlito Wirawan Sarwono, 2001, Psikologi Remaja, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, hlm. 23.5 Gatra, 3 Januari 1998, hlm. 25.6 Penelitian di Jakarta pada tahun 1981 yang berkerja sama dengan Gerakan Remaja untuk Kependudukan(GRK) dan radio Prambors malah memperlihatkan bahwa 15,3 % dari responden pernah bersenggama, entahdengan pacar, tante girang, atau pelacur. Lihat Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, 1981, Pergeseran Norma PerilakuSeksual Kaum Remaja: Sebuah Penelitian Terhadap Remaja Jakarta, Jakarta: CV Rajawali, hlm. 29. 3
  • 4. semata.7 Perilaku seks remaja-remaja di pedesaan ternyata juga tidak terlalu jauh berbedadengan perilaku rekan-rekan mereka di perkotaan. Contoh-contoh statistik serta kasus di atas tentu tidak sebesar dan seserius yang terjadi diEropa dan Amerika Serikat (lihat Lampiran 1), tapi ada indikasi bahwa kebebasan seksualsemakin gencar masuk ke tanah air bersama dengan tersebarnya budaya global. Media massadan elektronik yang banyak mengandung unsur seks dan kekerasan, begitu pula komik-komikporno, begitu mudah diakses oleh kalangan remaja dewasa ini. Kini, anak-anak kelas 4 hingga6 SD sudah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sangat dewasa tentang seks, seperti”Apakah sex swalayan itu?” dan ”Bagaimana cara melakukan seks?”8 Sementara, beberaparemaja puteri usia SMU merasa tak segan difoto payudara, atau malah tubuh telanjangnya,dengan handphone, semata-mata karena bangga dengan keindahan tubuhnya sendiri.9 Angka kekerasan serta konsumsi rokok dan obat-obatan terlarang juga cukup tinggi dikalangan remaja Indonesia. Data tentang tawuran di Jakarta pada paruh pertama tahun 1999,sebagaimana diberitakan oleh Media Indonesia, memperlihatkan bahwa rata-rata dua anaktewas setiap bulannya karena perkelahian antar pelajar. Pada tahun yang sama, sebuahpenelitian tentang narkoba menunjukkan bahwa paling tidak 60-80% murid SMP di seanteroYogya pernah mencicipi narkotika, sementara di wilayah-wilayah pemukiman setidaknya 10anak baru gede (ABG) di tiap RT pernah merasakan narkotika.10 Angka ini juga cukup tinggidi Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Bahkan narkotika dalam bentuk permen pernah beredardi Jakarta Timur dengan target konsumen anak-anak SD.11 Di beberapa negara asing, seperti di Amerika Serikat dan Hongkong, tingkat kerentananpsikologis anak-anak remaja sangat tinggi. Majalah News Week pernah mengangkat seriusnyapersoalan remaja di Amerika pasca penembakan yang menimbulkan kematian lebih darisepuluh anak di sekolah Columbine.12 Salah satu survey yang diangkat oleh majalah itumenyebutkan bahwa satu dari empat remaja di Amerika Serikat berpikiran bunuh diri. 13Survey American Academy of Pediatrics belum lama ini malah menunjukkan bahwa 60%pelajar menyatakan bahwa mereka pernah berpikiran untuk bunuh diri, dan 9% di antaranya7 Gatra, 3 Januari 1998, hlm. 22-24.8 Data-data dihimpun oleh Yayasan Kita dan Buah Hati.9 “Narsis atau PD, nih?” dalam Kompas, 1 April 2005, hlm. 49.10 Gatra, 24 Februari 2000, hlm. 31.11 Media Indonesia, 8 September 1999.12 Untuk kasus penembakan di SMU Columbine yang menghentak publik Amerika Serikat lihat News Week edisi3 Mei 1999. Untuk kasus-kasus lainnya yang sejenis bisa dilihat pada Gatra, 11 April 1998.13 Newsweek, 10 Mei 1999, hlm 44. 4
  • 5. pernah mencobanya paling tidak satu kali.14 Sementara itu di Hong Kong, satu dari tigaremajanya berpikiran untuk bunuh diri.15 Di Indonesia, persoalannya tentu tidak seserius itu. Namun, sejak pertengahan tahun 2003hingga April 2005 setidaknya ada 30 kasus upaya bunuh diri yang dilakukan oleh remaja ditanah air.16 Tidak semua anak yang berupaya bunuh diri itu mengalami kematian. Sebagianberhasil diselamatkan dan tetap bertahan hidup. Namun, hampir semuanya melakukan upayabunuh diri untuk alasan-alasan yang remeh dan tak masuk akal, seperti ”rebutan mie instandengan adik,” ”rebutan remote untuk nonton AFI di TV,” ”ngambek minta dibelikan bukugambar,” atau karena ”kecewa tidak dibelikan TV.” Fenomena ini tampaknya belummengemuka pada dekade-dekade sebelumnya. Ini semua menggambarkan adanya kerentananyang cukup serius pada kondisi psikologis remaja-remaja Indonesia, khususnya pada tahun-tahun belakangan ini. Remaja modern telah menjadi suatu kelompok usia terpisah yang membedakan diri darikelompok usia anak-anak dan dewasa. Gejolak psikologis yang mereka alami terekspresikankeluar dalam berbagai bentuk dekadensi seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Merekajadi sulit diatur dan sering bentrok dengan orang tua. Guru dan pihak sekolah pun kesulitanuntuk mengontrol mereka. Remaja-remaja ini berkumpul dengan teman-teman seusia merekadan menciptakan budaya teman sebaya (peer culture). Mereka merasa lebih dekat denganteman-teman seusia mereka yang memiliki karakteristik sama dengan mereka. Mereka jugakurang mau mendengar dari orang-orang dewasa yang semakin jarang berinteraksi denganmereka17 dan tidak selalu memahami gejolak perasaan mereka. Kondisi mereka yang labilseringkali mendorong terjadinya tekanan teman sebaya (peer pressure) yang cenderungmenjatuhkan mereka ke berbagai hal yang negatif, seperti rokok, narkotika, kekerasan, danseks bebas. Orang-orang dewasa di sekitar mereka, termasuk orang tua dan guru, mungkin bingungbagaimana seharusnya menyikapi anak-anak remaja. Mau disikapi sebagai orang dewasa,mereka ternyata belum terlalu matang dan masih banyak membutuhkan bimbingan. Maudisikapi sebagai anak kecil, lebih tidak mungkin lagi mengingat perkembangan fisik mereka14 http://www.aap.org/advocacy/childhealthmonth/prevteensuicide.htm.15 Time, 15 April 2002.16 Data dihimpun oleh Yayasan Kita dan Buah Hati dari pemberitaan media-media massa. Tidak tertutup adakasus-kasus lain yang belum masuk ke dalam data ini.17 Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa di antara hal-hal yang menjadi penyebab remajabermasalah, rasa kesepian (loneliness) menempati posisi teratas. Barbara Schneider yang meneliti 7.000 remajaselama 5 tahun menemukan bahwa rata-rata mereka menghabiskan waktu 3,5 jam sendirian setiap harinya.Remaja bisa saja mengklaim bahwa mereka membutuhkan privasi, tapi mereka juga sangat membutuhkanperhatian yang ternyata tidak mereka dapatkan. Sebenarnya, remaja-remaja ini sangat berharap ada lebih banyakorang-orang dewasa dalam kehidupan mereka. Newsweek, 10 Mei 1999, hlm. 42-43. 5
  • 6. yang mulai menunjukkan ciri-ciri orang dewasa.18 Akibatnya, kelompok usia remaja menjadisemakin terasing dari dunia orang dewasa yang idealnya bisa membimbing mereka menujukematangan dan kemandirian pribadi. Bagaimanakah fenomena-fenomena ini seharusnya dijelaskan? Apakah semua itumerupakan hal yang normal terjadi pada remaja? Apakah berbagai problematika psikologisdan sosial remaja modern juga dialami oleh rekan-rekan seusia mereka di masa lalu? Ataukahini hanya menjadi ciri khas dari remaja-remaja modern? Kita akan mencoba menguraipersoalan-persoalan ini satu demi satu, sebelum menggagas solusi pendidikan terbaik bagianak-anak remaja. Ketika memasuki usia remaja (puber), setiap anak mengalami perubahan yang sangatsignifikan pada fisiknya, terutama yang terkait dengan organ-organ seksualnya. Perubahan-perubahan tersebut menimbulkan kecanggungan pada diri remaja karena ia harusmenyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tadi. Penyesuaian ini tidak selalu bisa merekalewati dengan baik, lebih-lebih bila tidak ada bimbingan dan dukungan dari orang tua.19 Bersamaan dengan terjadinya perubahan fisik menuju kedewasaan, perubahan yangbersifat psikologis juga dialami oleh remaja. Pada diri mereka mulai muncul perasaan akanidentitas diri. Jika pada waktu kanak-kanak mereka tidak pernah berpikir tentang jati dirimereka sendiri, maka pada masa remaja pertanyaan-pertanyaan seperti “siapa diri saya?” dan“apa tujuan hidup saya?”20 menjadi persoalan yang sangat penting. Ini sebetulnya pertanyaanyang wajar bagi setiap orang yang memasuki usia dewasa, karena pada masa ini mereka sudahharus mulai mandiri, termasuk dalam hal identitas atau jati diri. Persoalannya menjadi seriusketika pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan baik dan terus berlarut-larutmenggelayuti pikiran mereka. Berkenaan dengan persoalan jati diri ini, Jane Kroger mengatakan bahwa “Remajaagaknya merupakan suatu saat … ketika seseorang dihadapkan dengan persoalan definisidiri.”21 Sementara Kathleen White dan Joseph Speisman dalam buku mereka, Remaja,menjelaskan bahwa remaja cenderung, “bergelut dengan isu mengenai siapa dirinya dan ke18 Alwi Alatas, 2004, Remaja Gaul Nggak Mesti Ngawur, Jakarta: Hikmah, hlm. 27.19 Sarlito Wirawan Sarwono, 2001, Psikologi Remaja, op.cit. hlm. 52.20 Doris Odlum, seorang dokter Inggris, mengumpulkan banyak pertanyaan yang diajukan oleh kalangan remajaterkait dengan jati diri mereka. Untuk ini lihat James M. Tanner dan Gordon Rettray Taylor, 1975, Pustaka IlmuLIFE: Pertumbuhan, Jakarta: Tira Pustaka, hlm. 108-109.21 Jane Kroger, 1989, Identity in Adolescence: The Balance Between Self and Other, London & New York,Routledge, hlm. 1. 6
  • 7. mana tujuannya.” Begitu seriusnya mereka dengan persoalan ini sehingga “barangkalihanyalah pada masa remaja saja individu dapat menjadi ahli filsafat moral yang tersendiri.”22 Sayangnya, hanya segelintir remaja yang mungkin benar-benar lulus sebagai ”ahli filsafatmoral,” sementara sebagian besar lainnya justru semakin bingung dan tak peduli dengan apapun yang ada di sekitarnya. Banyak yang gagal dalam menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang penting dan mendasar tadi.23 Kegagalan dalam definisi diri membuat remajamengalami ’kebingungan peran’ (role confusion)24 saat mencari model peran yang akandiikuti. Model peran orang tua yang sebelumnya mereka idealkan semasa kecil kini mulai inginmereka jauhi, terutama jika orang tua bermasalah. 25 Remaja mulai melirik model-model perandan identitas yang ada di luar keluarganya. Namun, mereka seringkali mengalamikebingungan karena ada begitu banyak pilihan peran dan nilai-nilai yang saling bertentangansatu sama lain, sementara mereka tidak memperoleh bimbingan yang mantap bagaimanaseharusnya menentukan pilihan yang terbaik bagi diri mereka sendiri. Semua itu membawaremaja kepada kondisi yang sangat labil, rentan, dan mudah terpengaruh oleh lingkungannya.Pada gilirannya, tidak sedikit remaja yang akhirnya terjerumus dalam berbagai persoalanserius sebagaimana yang telah disinggung pada bagian awal dari tulisan ini. Situasi ini menjadi semakin buruk, karena kaum kapitalis, khususnya para pengusahabisnis hiburan, berusaha mengambil keuntungan dari kondisi remaja yang labil. Pencarian jatidiri remaja dilihat oleh mereka sebagai ”permintaan” (demand) dan peluang bisnis. Merekapun kemudian memberikan ”penawaran” (supply) berupa artis dan selebritis yangmenampilkan identitas semu (pseudo-identity). Remaja tak sekedar mengapresiasi paraselebritis karena film atau lagu mereka yang menarik, tapi juga karena para selebritis itumenampilkan model-model identitas yang bisa mereka tiru dan ikuti. 26 Hanya saja, peniruanyang mereka lakukan ini tidak menyelesaikan problem dan gejolak pada diri mereka, malahsemakin melipatgandakannya.22 Kathleen M. White and Joseph C. Speisman, 1989, Remaja, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka,Kementerian Pendidikan Malaysia, hlm. 85.23 Alwi Alatas, 2005, (Untuk) 13+, Remaja Juga Bisa Bahagia, Sukses, Mandiri, Jakarta: Pena, hlm. 8.24 Tentang pembahasan role confusion, lihat Ernest R. Hilgard, Rita L. Atkinson, & Richard C. Atkinson, 1979,Introduction to Psychology, op.cit. hlm. 9225 Terkadang orang tua sudah memberikan model peran yang baik untuk dicontoh oleh anak, tetapi kalah olehmodel-model peran lain yang ditawarkan lewat media massa.26 Michael Carneal (14 tahun), misalnya, telah menembak temen-temen sekolahnya di Kentucky High School,Amerika, pada bulan Desember 1997. Peristiwa ini menyebabkan tiga pelajar meninggal dunia dan lima lainnyaterluka parah. Saat diinterogasi perihal motifnya, ia mengaku terpengaruh adegan dalam film Basketball Diaries.Ia bahkan mengatakan bahwa skenario Diaries merupakan cerminan pribadinya. Ketiga orang tua korbankemudian juga menuntut pihak produser film yang dibintangi oleh Leonardo Di Caprio itu, Gatra, 11 April 1998,hlm. 57. 7
  • 8. Semua ini berputar dalam suatu siklus. Kaum kapitalis menciptakan industri hiburan yangmenghadirkan artis dan selebritis. Para selebritis menampilkan identitas semu yang diapresiasioleh anak-anak remaja sebagai upaya pemenuhan atas pencarian jati diri mereka. Kaumremaja, atau orang tua mereka, mengeluarkan uang untuk mengkonsumsi hiburan danmengapresiasi artis-artis, dan uang itu masuk ke kantong kapitalis. Siklus itu terus berputar.Dan sebagai dampaknya, kaum kapitalis mengalami akumulasi modal, sementara remajamengalami akumulasi krisis (Lihat bagan 1). Akumulasi Keuntungan Uang Kapitalis Akumulasi Industri Krisis Remaja Hiburan Pseudo Selebritis Identity Bagan 1 Sejauh ini, data-data memperlihatkan bahwa masa usia remaja identik dengan krisis, sifatlabil, serta terjadinya gejolak psikologis dan sosial yang bersifat destruktif. Dengan kata lain,kelabilan dan gejolak (turbulence) lekat dengan fase usia remaja yang merupakan peralihanantara anak-anak dan dewasa. Pendidikan remaja seharusnya mampu memberikan solusiterbaik dalam meredam keadaan labil dan penuh gejolak tadi, serta memberikan pemecahanbagi mereka untuk keluar dari lingkaran krisis yang mereka alami. Oleh karenanya, dalamrangka merumuskan solusi tadi, Psikologi Islam perlu mengevaluasi kembali posisi remajasebagai suatu kelompok usia berikut ciri-cirinya, dikaitkan dengan sifat-sifat manusiawi danalamiah yang seharusnya ada pada diri manusia di setiap fase usianya. 8
  • 9. Kajian yang kritis atas fase usia remaja memperlihatkan bahwa kelompok usia ini berikutciri-cirinya, sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat modern, tidaklah bersifat natural.Artinya, pola pertumbuhan manusia yang alamiah sebenarnya tidak membuka peluang bagiterbentuknya kelompok usia remaja seperti yang kita pahami sekarang. Adanya fase usiaremaja pada jaman modern ini sebetulnya bersumber dari penundaan kedewasaan yangdipaksakan oleh masyarakat. Bekenaan dengan ini Tanner mengajukan pertanyaan, ”Apakah ketegangan dankecemasan pada masa akil baligh itu ditimbulkan oleh alam atau dipaksakan olehmasyarakat?” Ia kemudian menjawab sendiri pertanyaan tadi, ”Jawabannya tampaknya adalahbahwa ketegangan dan kecemasan tadi dipaksakan oleh masyarakat dalam negara yang sudahmaju, sebab jadwal waktu masyarakat tampaknya tidaklah sinkron dengan jadwal waktupertumbuhan alamiah manusia.”27 Jadi, tampak jelas di sini bahwa gejolak masa remaja terjadikarena masyarakat pada negara yang sudah maju telah mengubah jadwal waktu pertumbuhanmanusia sesuai dengan kepentingannya, sehingga bertentangan dengan jadwal alamiah yangdimiliki remaja tadi. Dengan kata lain, sifat labil serta gejolak masa remaja merupakan suatuproduk kultural, dan tidak bersumber pada sifat-sifat natural manusia. Secara alamiah setiap anak seharusnya sudah menjadi dewasa pada saat baligh, atautak lama setelah baligh, tapi masyarakat modern mempunyai jadwal yang berbeda mengenaikapan seharusnya seorang anak menjadi dewasa. Masyarakat kemudian memaksakanpemunduran jadwal kedewasaan anak sedemikian rupa – karena mereka harus melewati masapendidikan formal yang panjang serta dikarenakan beberapa faktor lainnya – sementara padasaat yang sama jadwal alamiahnya pun tetap berjalan sebagaimana biasa. Jadi, bukannyamenyesuaikan diri dengan jadwal alamiah, masyarakat modern memilih untuk memaksakanjadwal baru yang mereka anggap baik. Hal inilah yang kemudian menjadi pemicu gejolakpada remaja modern sebagaimana akan dijelaskan lebih jauh nantinya. Tanner melanjutkan penjelasannya, ”Pada masyarakat primitif, tahun-tahun masa kanak-kanak memberikan segala waktu belajar yang diperlukan orang agar dapat menyesuaikan diridengan kebudayaannya. Akibatnya, kedewasaan seksual dan kedewasaan sosial dicapaihampir bersamaan. Selang waktu antaranya paling lama hanyalah dua atau tiga tahun saja.” 28Sejarah membuktikan bahwa pada masa-masa yang lalu, remaja seperti yang kita pahamisekarang sama sekali tidak ada.2927 James M. Tanner dan Gordon Rettray Taylor, 1975, Pustaka Ilmu LIFE: Pertumbuhan, op.cit. hlm. 110-111.28 James M. Tanner dan Gordon Rettray Taylor, 1975, Pustaka Ilmu LIFE: Pertumbuhan, ibid.29 Ernest R. Hilgard, Rita L. Atkinson, & Richard C. Atkinson, 1979, Introduction to Psychology, op.cit. hlm. 88. 9
  • 10. Sarlito Wirawan Sarwono, dalam bukunya Psikologi Remaja, juga menyatakan halsenada. Konsep remaja tidak dikenal pada masa-masa yang lalu. Beliau mengatakan, “Walaupun konsep tentang anak sudah dikenal sejak abad ke-13, tetapi konsep tentang remaja sendiri baru dikenal secara meluas dan mendalam pada awal abad ke-20 ini saja dan berkembang sesuai dengan kondisi kebudayaan misalnya karena adanya pendidikan formal yang berkepanjangan, karena adanya kehidupan kota besar, terbentuknya ‘keluarga-keluarga’ batih sebagai pengganti keluarga-keluarga besar ….” 30 Jadi, perkembangan kebudayaan telah menunda kedewasaan anak dan menciptakanrealitas kelompok usia yang baru, yaitu remaja, yang merupakan peralihan antara kelompokusia anak-anak dan dewasa. Pengamatan atas realitas baru ini kemudian melahirkan konseptentang remaja sebagaimana yang dipahami masyarakat sekarang ini. Hanya saja, realitas baruyang dibentuk oleh kebudayaan modern ini rupanya juga ikut menyebabkan munculnyaberbagai persoalan serta krisis berkepanjangan pada anak usia belasan tahun. Seperti yangdikatakan Ahmad Faqih, kemajuan sains modern telah memberikan kontribusi terhadapmunculnya diskrepansi dan dehumanisasi.31 Pada masa lalu serta pada masyarakat primitif yang belum bersentuhan dengankebudayaan modern, anak-anak memperoleh status kedewasaan mereka tidak lama setelahterjadinya puber. Anak-anak ini, dengan cara yang berbeda-beda, telah dipersiapkan secarapsikologis dan sosial untuk memahami dan menerima kedewasaan mereka pada awal ataupertengahan usia belasan tahun mereka. Bahkan, masyarakat-masyarakat primitif padaumumnya memiliki upacara tersendiri untuk ’melantik’ anak-anak mereka sebagai orangdewasa. Dengan demikian, anak-anak itu mengetahui dan mengalami momen kedewasaansosial mereka secara tegas, setegas momen kedewasaan biologis yang mereka rasakan di masapuber. Yang terpenting dari itu semua, remaja-remaja pada masyarakat primitif tidakmengalami gejolak serta krisis seperti yang dialami remaja-remaja modern. Ada beberapa bukti dari masyarakat primitif yang bisa dihadirkan di sini. Penelitianantropologis oleh Margaret Mead di kepulauan Samoa dan Papua memperlihatkan bahwa“anak laki-laki menjadi pria dewasa dan anak wanita menjadi wanita dewasa tanpa mengalamikecemasan dan kesukaran emosional yang di Amerika dianggap tak terhindarkan.” 32 Orang-30 Sarlito Wirawan Sarwono, 2001, Psikologi Remaja, op.cit. hlm. 20.31 Ahmad Faqih HN, “Menggagas Psikologi Islami: Mendayung di Antara Paradigma Kemodernan dan TuratsIslam,” http://www.geocities.com/jurnal_iiitindonesia/psikologi_islami.htm.32 James M. Tanner dan Gordon Rettray Taylor, 1975, Pustaka Ilmu LIFE: Pertumbuhan, op.cit. hlm. 111. 10 1
  • 11. orang Indian di benua Amerika serta suku-suku primitif di Afrika Selatan juga mempunyaiupacara khusus untuk melantik anak-anak mereka menjadi orang dewasa. 33 Bahkan orang-orang Yahudi modern masih memelihara upacara Bar Mitzvah di sinagog-sinagog untukmengangkat secara resmi anak-anak lelaki mereka yang berusia 13 tahun (12 tahun untukanak-anak perempuan) menjadi orang dewasa.34 Tidak terjadinya gejolak emosi yang menonjol pada masyarakat primitif di atas adalahdisebabkan oleh adanya pemberian status sosial yang jelas di usia dini – di masa-masa awalpubertas mereka – di samping adanya persiapan psikologis anak pada masa-masa sebelumnya.Sarlito Wirawan Sarwono juga menegaskan dalam bukunya bahwa remaja yang mendapatstatus sosial yang jelas di usia dini biasanya tidak mengalami gejolak yang menonjol.”Pengalaman menunjukkan bahwa remaja yang telah mendapat status sosialnya yang jelasdalam usia dini, tidak menampakkan gejolak emosi yang terlalu menonjol seperti rekan-rekannya yang lain yang harus menjalani masa transisi dalam tempo yang cukup panjang,”tulisnya.35 Berdasarkan semua pemaparan dan fakta-fakta di atas, maka dapat disimpulkan bahwakelabilan serta gejolak masa remaja yang berlebihan adalah realitas masyarakat modern yangmerupakan dampak dari perubahan budaya. Gejolak dan krisis ini terjadi karena masyarakatserta kebudayaan pada hari ini telah memundurkan jadwal kedewasaan anak di luar darijadwal alamiah yang dimilikinya. Pada saat puber (sekitar umur 12 tahun), anak mengalamikedewasaan biologis yang ditandai oleh mimpi basah (wet dreaming) dan berkembangnyaorgan-organ seksual. Dengan adanya kedewasaan biologis ini, remaja memiliki kemampuan33 Untuk contoh upacara pada salah satu suku primitif di Afrika Selatan, lihat Nelson Mandela, 1995, PerjalananPanjang Menuju Kebebasan: Otobiografi Nelson Mandela, Jakarta: Binarupa Aksara, hlm. 25-29. Upacaratersebut berjalan selama beberapa hari dan dilakukan atas sekelompok anak berusia sekitar 16 tahun. Bagianterpenting dari upacara tersebut adalah ketika anak-anak tadi disunat tanpa anastesi. Mereka harus beranimenghadapi rasa sakit dalam prosesi sunat sebagai manifestasi dari kesiapan mereka memasuki dunia orangdewasa. Tidak adanya anastesi ini disengaja untuk menyiapkan mental mereka, karena, seperti dikatakan olehMandela sendiri, ”Seorang anak boleh menangis, pria dewasa menyembunyikan kepedihannya.” Persis setelahkulit khatan dipotong dengan assegai, semacam pisau tradisional yang digunakan oleh dukun sunat, anak yangdisunat harus berteriak lantang, ”Ndiyindoda (Saya pria dewasa)!” Dan setelah semua prosesi tadi, anak-anaktersebut telah memiliki status yang sama dengan orang-orang dewasa pada masyarakatnya.34 Microsoft Encarta Encyclopedia Deluxe 2002 (CD). Walaupun anak-anak tadi telah menerima status dewasamereka dalam usia yang dini, agaknya mereka tidak mengalami sebuah lompatan fase usia yang mengejutkan.Boleh jadi ini dikarenakan telah adanya persiapan psikologis sejak masa-masa sebelumnya. Selain itu, fase baruyang mereka masuki mungkin bisa disebut sebagai fase ‘dewasa awal’ yang masih membutuhkan prosespendewasaan diri lebih jauh. Bagaimanapun, fase ‘dewasa awal’ tidaklah sama dengan fase ‘remaja’ yangmerupakan peralihan dari anak-anak ke dewasa. Anak-anak yang masuk ke fase ’dewasa awal’ ini tidakmengalami gejolak dan krisis – sebagaimana bisa dilihat pada contoh-contoh kasus masyarakat primitif di atas –seperti yang dialami oleh remaja-remaja modern.35 Sarlito Wirawan Sarwono, 2001, Psikologi Remaja, op.cit. hlm. 84. 11 1
  • 12. biologis yang sama dengan orang-orang dewasa lainnya; ia dapat menikah dan mempunyaianak. Bersamaan dengan masuknya seseorang ke fase kedewasaan biologis, lewat pubertas,hasrat serta kebutuhan untuk menjadi dewasa secara psikologis dan sosial juga muncul.Dipisahkan dan ditundanya kedua jenis kedewasaan yang terakhir ini, yaitu kedewasaanpsikologis dan sosial, dari kedewasaan biologis telah menyebabkan kebingungan,kegamangan, serta pada gilirannya gejolak dan krisis pada diri remaja (lihat Bagan 2 36).Gejolak tersebut terjadi karena pemisahan serta penundaan tadi bertentangan dengan prosesalamiah yang ada pada diri seseorang. Oleh karena itu, tugas utama Psikologi Islam adalahmencari jalan agar pertumbuhan remaja bisa kembali berlangsung secara sehat berdasarkanproses alamiahnya, tanpa harus meninggalkan fase kebudayaan modern dan kembali kekebudayaan primitif. Dengan kata lain, Psikologi Islam perlu menarik dan merevitalisasi nilai-nilai lama yang lebih alamiah, positif, dan Islami untuk memberi solusi yang terbaik bagipertumbuhan remaja di dunia modern. Puber (12/13 th) 20 th Kedewasaan Kedewasaan Biologis Psikologis & Sosial Kesenjangan Turbulence Bagan 2Aspek-Aspek Pendidikan Remaja Berbagai persoalan remaja yang muncul terjadi karena ketegangan antara apa-apa yangnatural (fitrah) pada diri manusia dengan paksaan budaya. Ia juga terjadi karena sistem36 Angka-angka usia yang dimunculkan pada bagan tersebut hanya diajukan sebagai contoh, karena memangtidak ada batas usia remaja yang pasti. 12 1
  • 13. pendidikan yang ada terlalu menekankan pada kepentingan negara dan pertumbuhan ekonomi,bukan demi kepentingan kesehatan pertumbuhan manusia itu sendiri. Perlu disadari bahwa tugas Psikologi Islam adalah agar manusia selalu lurus denganfithrahnya.37 Terkait dengan pendidikan, Syed Muhammad Naquib al-Attas menekankanbahwa tujuan pendidikan dari tingkat yang paling rendah hingga tingkat yang paling tinggiseharusnya tidak ditujukan untuk menghasilkan warga negara yang sempurna (completecitizen), tetapi untuk memunculkan manusia paripurna. 38 Para ahli pendidikan Muslim jugamempunyai pendapat yang senada. Dr. Ali Asraf menyatakan bahwa pendidikan seharusnyadiarahkan untuk mengembangkan individu sepenuhnya. 39 Sementara Imam al-Ghazaliberpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah terwujudnya kesempurnaan manusia yang bisamendekatkannya kepada Allah dan bisa membawa pada kebahagiaan di dunia dan di akhirat.40 Upaya pembentukan manusia yang utuh dan paripurna (al-insan al-kamil) tidak mungkindapat terwujud selama masih adanya kesenjangan yang serius dalam aspek-aspek kedewasaanremaja. Kesenjangan ini bertentangan dengan pola pertumbuhan natural manusia dankarenanya menimbulkan ketidaksehatan jiwa pada diri remaja. Ketidaksehatan jiwa ini padagilirannya menyebabkan terjadinya ketidaksehatan sosial pada komunitas remaja danlingkungannya. Prof. El-Quussy menyatakan bahwa ”pendidikan yang tidak menuju ke arahmenciptakan kesehatan jiwa dianggap sebagai suatu perbuatan yang sia-sia, yang tidak adagunanya.”41 Oleh karenanya, salah satu tugas penting Psikologi Islam sekarang ini dalam pendidikan remajaadalah menghapuskan kesenjangan pada aspek kedewasaan remaja. Jadwal kedewasaan biologis tidakmungkin dimundurkan waktunya, karena terjadi secara alamiah. Oleh sebab itu, jadwal kedewasaanpsikologis dan sosial-lah yang perlu kembali dimajukan waktunya agar berdekatan dengan jadwalkedewasaan biologis, sebagaimana yang selama ini dialami oleh remaja-remaja pada masyarakatprimitif dan pada masyarakat di masa lalu. Dimajukannya jadwal waktu kedewasaan psikologis dansosial lebih bersifat natural dan lebih menjamin kesehatan jiwa dalam fase pertumbuhan remaja. 4237 Ahmad Faqih HN, “Menggagas Psikologi Islami: Mendayung di Antara Paradigma Kemodernan dan TuratsIslam,” http://www.geocities.com/jurnal_iiitindonesia/psikologi_islami.htm.38 Wan Mohd Noor Wan Daud, 2003, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, Bandung: Mizan, hlm. 172.39 Dr. Ali Ashraf, 1993, Horison Baru Pendidikan Islam, Pustaka Firdaus, hlm. 1.40 Prof. Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan Al-Ghazali, P3M, hlm. 19-20.41 Prof. Dr. Abdul ‘Aziz El-Quussy, 1975, Pokok-Pokok Kesehatan Jiwa/ Mental, jilid. II, Jakarta: BulanBintang, hlm. 309.42 Drs. M. Thalib menganggap diperlakukannya anak-anak secara dewasa oleh orang tuanya termasuk dalam sifatfitrah anak. Anak yang ia maksud di sini adalah anak yang telah baligh dan mencapai awal dewasa. Iamengambil dalil dari al-Qur’an surat Ash-Shaaffaat ayat 102 yang berisi dialog antara Nabi Ibrahim as. dengananaknya yang baru beranjak dewasa, yaitu Ismail as., tentang turunnya perintah Allah untuk mengorbankan sanganak. Lihat Drs. M. Thalib, 1995, Memahami 20 Sifat Fitrah Anak, Bandung: Irsyad Baitus Salam, hlm. 63-66.Kami sendiri memandang masa baligh/ puber/ sebagai pintu gerbang alamiah bagi anak untuk memasuki faseusia dewasa. 13 1
  • 14. Kedewasaan sosial anak remaja biasanya dicapai dengan adanya penerimaan sosial dariorang tua dan lingkungannya terhadap remaja sebagai orang yang sudah dewasa dan sejajardengan orang-orang dewasa lainnya. Selain itu, kedewasaan sosial juga terwujud denganadanya interaksi antara anak dengan orang-orang dewasa di sekitarnya secara sederajat dandewasa. Dengan kata lain, anak remaja seharusnya disikapi sebagai orang dewasa dandilibatkan dalam komunitas serta aktivitas positif43 orang-orang dewasa. Sekiranya orang tuamenyikapi dan melibatkan anak-anaknya secara dewasa, bahkan sebelum anak-anak itumenginjak masa baligh/ puber, maka anak-anak itu akan memiliki karakter dewasa yang sehatketika ia memasuki masa remaja. Dalam situasi seperti itu, kecil kemungkinan anak akanmengalami gejolak yang serius dan berkepanjangan pada fase usia remaja. Hal demikianterjadi karena ia telah mendapatkan status sosial (status kedewasaan) yang jelas sejak dini. Adapun kedewasaan psikologis idealnya dibentuk sejak masa pra-pubertas lewatpendidikan yang bisa menumbuhkan karakter dan perilaku dewasa pada anak. Oleh karena itu,perlu diteliti aspek-aspek apa saja yang membedakan antara anak-anak dan orang dewasa.Kami sendiri berpandangan aspek-aspek dasar yang membedakan kedua kelompok usiameliputi empat hal, yaitu identitas diri, tujuan hidup (serta visi), pertimbangan dalam memilih,serta tanggung jawab.44 Pendidikan remaja perlu memperhatikan tumbuh sehatnya keempataspek ini dan memulainya sejak anak belum lagi menginjak usia remaja. Berikut ini akandibahas keempat aspek tersebut satu demi satu.451. Identitas diri. Anak-anak pra-pubertas biasanya belum berpikir tentang identitas atau jati dirinya, karenamereka belum memiliki kemandirian, termasuk dalam persoalan identitas. Anak-anakmengidentifikasi dirinya dengan orang tuanya. Mungkin bisa dianggap bahwa identitas anak-anak pra-pubertas sama dengan identitas orang tuanya. Namun, ketika anak memasuki fasekedewasaan biologis (baligh/ puber), ia mulai merasakan adanya tuntutan untuk mandiri,43 Penekanan kata ‘positif’ di sini sangat penting, mengingat tidak selamanya aktifitas orang dewasa bernilaipositif. Dan positif atau tidaknya sesuatu seharusnya dilihat dari kacamata Islam, bukan pandangan masyarakatyang selalu berubah-ubah.44 Pada awal tulisan telah dikutip penjelasan Hilgard tentang tiga aspek yang menandai fase usia remaja. Aspekyang pertama, yaitu perubahan fisik, terkait dengan kedewasaan biologis yang terjadi secara alamiah. Sementaradua aspek lainnya adalah identitas diri dan tanggung jawab. Keempat aspek yang baru saja kami sebutkan di ataspada dasarnya sejalan dengan dua aspek terakhir yang disinggung Hilgard, karena aspek tujuan hidup sebenarnyaikut menopang terbentuknya identitas yang kuat, dan pertimbangan dalam memilih merupakan bagian dari aspektanggung jawab. Penjabaran ke dalam empat aspek ini lebih bertujuan untuk mempertajam konsep pendidikankedewasaan pada remaja.45 Dalam menjelaskan keempat aspek ini, kami lebih mengandalkan pengamatan kami sendiri secara rasional dankualitatif, disebabkan masih relatif minimnya pembahasan-pembahasan serta penelitian yang mendukung dalamkonteks ini, atau setidaknya kami sendiri belum menemukan kajian-kajian yang terkait dengan persoalan ini. 14 1
  • 15. termasuk dalam persoalan identitas. Apa yang sebelumnya belum terlintas di dalam pikiran,kini mulai menjadi hal yang serius. Pertanyaan seperti ”siapa saya sebenarnya?” dan ”apatujuan hidup saya?” mulai menuntut jawaban-jawaban yang mandiri. Pada titik ini, idealnya remaja sudah siap untuk menjadi mandiri dan dewasa. Seorangyang memiliki karakter dewasa tidak merasa bingung dengan identitas dirinya. Ia mengetahuidengan baik siapa dirinya dan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Identitas pada diri orangdewasa tadi menjadi kokoh seiring dengan terbentuknya nilai-nilai (values) serta prinsip-prinsip yang mendukung. Dalam kaitannya dengan identitas, seseorang biasanya akan mengaitkan dirinya dengansalah satu dari hal berikut: agama atau ideologi, suku atau bangsa, serta profesi. Seorang santrimisalnya, ia akan cenderung menyatakan ”Saya adalah seorang Muslim” saat ditanya tentangsiapa dirinya. Adapun oang yang hidup dalam komunitas kesukuan yang kental akan lebihmengaitkan identitas dirinya dengan sukunya. Seseorang bisa saja memiliki lebih dari satuidentitas pada saat yang bersamaan – misalnya sebagai Muslim, sebagai orang Jawa, dansebagai pengusaha sekaligus – tetapi biasanya ada satu identitas yang lebih bersifat dominandan menjadi identitas utama. Suatu identitas perlu dikokohkan oleh nilai-nilai (values) serta prinsip yangmendukungnya, sebab kalau tidak demikian, maka identitas tersebut hanya akan bersifatartifisial dan tidak konsisten. Sebagai contoh, misalnya seorang menyatakan bahwa identitasutamanya adalah Muslim, tetapi ia tidak memahami nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam sertabanyak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan agamanya. Oleh karena itu, membangunidentitas diri pada anak harus dilakukan dengan membangun nilai-nilai serta prinsip-prinsipyang menopang tegaknya identitas tersebut. Anak-anak perlu dibangun identitasnya sejak kecil, baik di rumah maupun di sekolah,sehingga ketika mereka memasuki usia baligh, mereka sudah memiliki identitas diri yangkokoh dan tak lagi mudah terombang-ambing dalam hidup. Psikologi Islam tentumerekomendasikan agama Islam sebagai identitas utama bagi setiap orang. Dan karena itu,nilai-nilai serta prinsip-prinsip utama Islam perlu dirumuskan dan ditanamkan secara bertahappada anak. Jika proses penenaman dan pewarisan nilai ini berjalan dengan baik, maka anaktidak akan lagi mengalami krisis identitas saat memasuki usia belasan tahun.2. Tujuan dan Visi dalam Hidup 15 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Copyright © 2011. Gaya Remaja . All Rights Reserved.
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger